Perlindungan
konsumen adalah
perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen.
Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda
pemberitahuan kepada konsumen.
Perangkat Hukum di Indonesia
Perangkat Hukum di Indonesia
UU
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik
Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa;
hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Di
Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan
perlindungan adalah:
- Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
UU
PERLINDUNGAN KONSUMEN
UNDANG
UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
UNDANG
UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB
I : KETENTUAN UMUM
BAB
II : ASAS DAN TUJUAN
BAB
III : HAK DAN KEWAJIBAN
BAB
IV : PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU
USAHA
BAB
V : KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
BAB
VI : TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
BAB
VII : PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
BAB
VIII: BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
BAB
IX : LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
BAB
X : PENYELESAIAN SENGKETA
BAB
XI : BADAN PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN
BAB
XII : PENYIDIKAN
BAB
XIII: SANKSI
BAB
XIV : KETENTUAN PERALIHAN
BAB
XV : KETENTUAN PENUTUP
Disahkan
di Jakarta
Pada
tanggal 20 April 1999
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BACHARUDDIN
JUSUF HABIBIE
Perlindungan
konsumen adalah suatu hal yang sangat penting. Namun terkadang masih sering
disepelekan oleh para pelaku usaha. Padahal perlindungan konsumen itu sendiri
sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Th, 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pada dasarnya menurut UU RI No. 8 Tahun 1999 Pasal 3, UU
Perlindungan konsumen ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
a. Meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindung
diri.
b. Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen.
d. Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.
Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha .produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Para
pelaku usaha sering kali tidak memikirkan kepuasan konsumen. Tak jarang banyak
pelaku usaha yang tega berbuat curang kepada konsumen yang nantinya akan
merugikan konsumen demi tercapainya keuntungan yang maksimal atau untuk menekan
ongkos produksi mereka. Dan yang lebih parahnya lagi jika konsumen tersebut
tidak menyadari perbuatan curang para pelaku usaha tersebut. Terkadang bukan
hanya pihak pelaku usaha saja yang salah, tetapi tak jarang juga kerugian itu
disebabkan oleh ketidaktelitian konsumen dalam membeli produk-produk yang
dijual oleh sang pelaku usaha.
Contoh
Kasus
Meski memiliki kewenangan dalam memutuskan sengketa antara
konsumen dengan penyedia jasa atau barang, BPSK mengambil putusan secara
proporsional dengan berdasarkan pada UUPK. Contoh, ada konsumen yang mengadukan
produk roti kepada BPSK. Konsumen tersebut menuntut ganti rugi hingga Rp 250
juta. Saat perkara itu disidangkan oleh Majelis Hakim BPSK, pengusaha roti
hanya dijatuhi putusan mengganti rugi roti yang telah dibeli konsumen seharga
Rp 5.000,00. Anggota BPSK yang menangani kasus roti tersebut, konsumen membeli
roti yang diobral karena akan kedaluwarsa keesokan harinya. Memang saat itu
pihak penjual memajang roti dengan harga agak tinggi untuk yang masih panjang
masa konsumsinya dan harga obral untuk roti yang kedaluwarsa.
Pihak penjual berupaya melakukan jalan damai dengan sang konsumen dengan memberikan ganti rugi dan sebentuk bingkisan, namun pihak konsumen menolak langkah itu dan memilih menggugat produsen roti termasuk mengajukan tuntutan ganti rugi senilai Rp 250 juta.
Setelah persoalan itu ditangani BPSK, putusannya adalah mengganti roti yang telah dibeli konsumen dengan roti sejenis yang masa kedaluwarsanya masih panjang .
Analisis
Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK (SK No. 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pasal 6). Putusan yang dikeluarkan BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, berupa pemenuhan ganti rugi dan atau sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (Pasal 40)
Pihak penjual berupaya melakukan jalan damai dengan sang konsumen dengan memberikan ganti rugi dan sebentuk bingkisan, namun pihak konsumen menolak langkah itu dan memilih menggugat produsen roti termasuk mengajukan tuntutan ganti rugi senilai Rp 250 juta.
Setelah persoalan itu ditangani BPSK, putusannya adalah mengganti roti yang telah dibeli konsumen dengan roti sejenis yang masa kedaluwarsanya masih panjang .
Analisis
Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK (SK No. 350/MPP/Kep/12/2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pasal 6). Putusan yang dikeluarkan BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, berupa pemenuhan ganti rugi dan atau sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (Pasal 40)
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar