Hak cipta
adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak cipta (lambang
internasional: ©, Unicode:
U+00A9) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur
penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak
cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat
juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah
atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula hak cipta memiliki masa berlaku tertentu
yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya
seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup
puisi, drama serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari,
balet dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung,
foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, (dalam yurisdiksi
tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak
kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan
intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas
penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk
melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya
mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak
mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud
atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang
berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak
menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh
tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan
atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang
berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut,
pengertian hak cipta adalah
"hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku"
(pasal 1 butir 1).
Sejarah
hak cipta
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan
terjemahan dari konsep copyright
dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan
dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses
untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya
yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan
besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan
hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan
langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum
tentang copyright mulai
diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut
diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup
perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur
penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain
itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun,
yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention
for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada
tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis
kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk
mendapatkan copyright. Segera
setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang
otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright
terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si
pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Sejarah Hak Cipta di Indonesia
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan
Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa
memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar
royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut
pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet
1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor
6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang
pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada
akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak
lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah
meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Propertyrights - TRIPs("Persetujuan tentang
Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah
meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun
1997 dan juga meratifikasi World
Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian
Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Hak-Hak yang tercakup dalam Hak Cipta
Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan
kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
- membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil
salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
- mengimpor dan mengekspor ciptaan,
- menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan
(mengadaptasi ciptaan),
- menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
- menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang
atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak
eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang
bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang
melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di
Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan
menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual,
menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada public,
menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana
apapun".
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di
Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak cipta
dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu
pemusik, aktor, penari dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga
penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang
dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal
1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang
pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak
cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian
tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan
pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan
persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
Hak ekonomi dan hak moral
Banyak negara mengakui adanya hak moral yang
dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang
secara inter alia juga
mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak
moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan,
dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Menurut konsep Hukum Kontinental (Prancis),
"hak pengarang" (droit
d'aueteur, author right) terbagi menjadi "hak ekonomi" dan "hak moral" (Hutagalung, 2012).
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep
"hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang
melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat
dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah
dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada
ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk
dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak
Cipta.
Perolehan dan pelaksanaan hak cipta
Pada umumnya, suatu ciptaan haruslah memenuhi
standar minimum agar berhak mendapatkan hak cipta, dan hak cipta biasanya tidak
berlaku lagi setelah periode waktu tertentu (masa berlaku ini dimungkinkan
untuk diperpanjang pada yurisdiksi tertentu).
Perolehan hak cipta
Setiap negara menerapkan persyaratan yang
berbeda untuk menentukan bagaimana dan bilamana suatu karya berhak mendapatkan
hak cipta; di Inggris misalnya, suatu ciptaan harus mengandung faktor
"keahlian, keaslian, dan usaha". Pada sistem yang juga berlaku
berdasarkan Konvensi Bern, suatu hak cipta atas suatu ciptaan diperoleh tanpa
perlu melalui pendaftaran resmi terlebih dahulu; bila gagasan ciptaan sudah
terwujud dalam bentuk tertentu, misalnya pada medium tertentu (seperti lukisan,
partitur lagu, foto, pita video atau surat), pemegang hak cipta sudah berhak
atas hak cipta tersebut. Namun demikian, walaupun suatu ciptaan tidak perlu
didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak cipta, pendaftaran ciptaan (sesuai
dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada yurisdiksi bersangkutan)
memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta yang sah.
Pemegang hak cipta bisa jadi adalah orang
yang memperkerjakan pencipta dan bukan pencipta itu sendiri bila ciptaan
tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan dinas. Prinsip ini umum
berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright
Designs and Patents Act 1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam
undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip
tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.
Ciptaan yang dapat
dilindungi
Ciptaan yang dilindungi hak cipta di
Indonesia dapat mencakup misalnya buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan,
ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan
dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama, drama musikal,
tari, koreografi, pewayangan, pantomime, seni rupa dalam segala bentuk (seperti
seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase,
dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik (dan karya tradisional lainnya
seperti seni songket dan seni ikat), fotografi, sinematografi, dan tidak
termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri).
Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai
(misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam
dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi
sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU
19/2002 pasal 12).
Penanda
hak cipta
Dalam yurisdiksi tertentu, agar suatu ciptaan
seperti buku atau film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan
tersebut harus memuat suatu "pemberitahuan hak cipta" (copyright notice). Pemberitahuan atau
pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di dalam lingkaran (yaitu lambang
hak cipta, ©), atau kata "copyright",
yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan
tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan hak
ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan
lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak cipta
tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan bahwa ciptaan
tersebut berhak cipta.
Pada perkembangannya, persyaratan tersebut
kini umumnya tidak diwajibkan lagi, terutama bagi negara-negara anggota
Konvensi Bern. Dengan perkecualian pada sejumlah kecil negara tertentu,
persyaratan tersebut kini secara umum bersifat manasuka kecuali bagi ciptaan
yang diciptakan sebelum negara bersangkutan menjadi anggota Konvensi Bern.
Lambang © merupakan lambing Unicode 00A9
dalam
heksadesimal, dan dapat diketikkan dalam (X) HTML sebagai ©
, ©
, atau ©
Jangka waktu
perlindungan hak cipta
Hak cipta berlaku dalam jangka waktu
berbeda-beda dalam yurisdiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda.
Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut
diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di
Amerika Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain
yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di
dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70
tahun. Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada
akhir tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak
cipta secara umum adalah sepanjang
hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat,
kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa
batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk
hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat
yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).
Penegakan hukum atas
hak cipta
Pemusnahan cakram padat (CD) bajakan di Brasil.
Penegakan hukum atas hak cipta biasanya
dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata, namun ada pula sisi
hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan
yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia
secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama
tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling
sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara
ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta
alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh
Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
Alternatif Pengajuan Permohonan Hak Cipta
Pemohon
dapat melakukan pengajuan permohonan dengan memilih salah satu cara
berikut ini :
1. Langsung ke
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
2. Melalui Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI di seluruh Indonesia.
3. Melalui
Kuasa Hukum Konsultan HKI terdaftar.
Referensi Hukum Hak Cipta
UNDANG - UNDANG (UU) HAK CIPTA REPUBLIK INDONESIA
a. UU Nomor 7
Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang HAk Cipta
(Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
b. UU Nomor 12
Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
c. UU Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta
d. Penjelasan
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
PERATURAN PEMERINTAH (PP) BIDANG HAK CIPTA
a. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta ditetapkan
Tanggal 5 April 1989.
b. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989 tentang Penterjemahan dan/atau
Perbanyakan Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian
dan Pengembangan ditetapkan Tanggal 14 Januari 1989.
c. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta
ditetapkan Tanggal 6 Maret 1986 .
d. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Sarana Produksi
Berteknologi Tinggi Untuk Cakram Optik (optic Disc) ditetapkan Tanggal 5
Oktober 2004 .
e. PP No. 38
Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
KEPUTUSAN PRESIDEN (KEPPRES) REPUBLIK INDONESIA
a. Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2004 tentang Pengesahan WIPO
Performances and Phonograms Treaty, 1996/Traktat WIPO Mengenai Pertunjukan dan
Perekam Suara.
b. Traktat WIPO
Mengenai Pertunjukan dan Perekaman Suara.
Contoh Kasus Mengenai Hak Cipta
1. Perkara
gugatan pelanggaran hak cipta logo cap jempol pada kemasan produk mesin cuci
merek TCL bakal berlanjut ke Mahkamah Agung setelah pengusaha Junaide Sasongko
melalui kuasa hukumnya mengajukan kasasi. "Kita akan mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung (MA), rencana besok (hari ini) akan kami daftarkan," kata
Angga Brata Rosihan, kuasa hukum Junaide. Meskipun kasasi ke MA, Angga enggan berkomentar
lebih lanjut terkait pertimbangan majelis hakim yang tidak menerima gugatan
kliennya itu. "Kami akan menyiapkan bukti-bukti yang nanti akan kami
tunjukan dalam kasasi," ujarnya. Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat mengatakan tidak dapat menerima gugatan Junaide terhadap
Nurtjahja Tanudi-sastro, pemilik PT Ansa Mandiri Pratama, distributor dan
perakit produk mesin cuci merek TCL di Indonesia.
Pertimbangan majelis hakim menolak gugatan tersebut antara lain gugatan itu
salah pihak (error in persona). Kuasa hukum tergugat, Andi Simangunsong,
menyambut gembira putusan Pengadilan Niaga tersebut. Menurut dia, adanya
putusan itu membuktikan tidak terdapat pelanggaran hak cipta atas peng-gunaan
logo cap jempol pada produk TCL di Indonesia. Sebelumnya, Junaide menggugat
Nurtjahja karena menilai pemilik dari perusahaan distributor dan perakit produk
TCL di Indonesia itu telah menggunakan logo cap jempol pada kemasan mesin cuci
merek TCL tanpa izin. Dalam gugatanya itu. penggugat menuntut ganti rugi
sebesar Rp 144 miliar.
Penggugat mengklaim pihaknya sebagai pemilik hak eksklusif atas logo cap
jempol. Pasalnya dia mengklaim pemegang sertifikat hak cipta atas gambar jempol
dengan judul garansi di bawah No.-C00200708581 yang dicatat dan diumumkan untuk
pertama kalinya pada 18 Juni 2007. Junaide diketahui pernah bekerja di TCL
China yang memproduksi AC merek TCL sekitar pada 2000-2007. Pada 2005. Junaide
mempunya ide untuk menaikkan kepercayaan masyarakat terhadap produk TCL dengan
membuat gambar jempol yang di bawahnya ditulis garansi. Menurut dia, Nurtjahja
telah melanggar Pasal 56 dan Pasal 57 UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Untuk itu Junaide menuntut ganti rugi materiel sebesar Rpl2 miliar dan
imateriel sebesar Rp 120 miliar.
2. Pembahasan
Kasus Hak Paten
Kasus Hak Paten Obat-obatan
India sedang
mempersiapkan perlawanan menghadapi paten atas obat diabet yang didasarkan pada
tanaman dari India. Kantor Paten Amerika Serikat telah memberikan paten pada
sebuah perusahaan farmasi Amerika Serikat atas obat yang dibuat dari terong dan
pare. Menurut pemerintah India, kedua tanaman tersebut sudah ribuan tahun
digunakan untuk menyembuhkan diabetes di India dan sudah terdokumentasi dalam
banyak teks tentang tanaman obat di India.
Sementara itu, tanaman afrika juga tidak luput dari pematenan. Amerika Serikat
kembali memberikan paten nomor 5,929,124 granted tanggal 27 Juli 1999 kepada
dua ilmuwan Swiss untuk penemuan berupa zat aktif dari akar sebuah pohon
(Swartzia madagascariensis) di Afrika. Zat aktif ini digunakan untuk mengobati
infeksi jamur serta gatal-gatal pada kulit. Penelitian menunjukkan bahwa bahan
kimia dari pohon ini jauh lebih ampuh dari obat anti jamur yang ada sekarang,
yang menarik adalah kasus ‘perang paten’ atas obat genetik antara Amerika
Serikat dan Inggris.
Myrian Genetics, sebuah perusahaan Amerika Serikat telah mempatenkan dua gen
manusia untuk skrining kanker payudara. Padahal sebagian besar penelitian
tentang hal itu paling tidak pada satu gen yaitu BRCA2 dilakukan di Institut
Penelitian Kanker Inggris. Myriad mengajukan paten beberapa jam sebelum
Institut kanker mengumumkan penemuannya dalam majalah Nature. Pemberian paten
ini akan mengancam pekerjaan 15 laboratorium di Inggris yang dibiayai oleh
masyarakat/negara dengan biaya 15 kali lebih rendah dibandingkan di AS.
Analisis :
Kasus hak paten dalam wacana di atas, terdapat tiga kasus hak paten mengenai
obat-obatan mulai dari tradisional hingga bahan kimia. Uniknya dalam tiga kasus
tersebut melibatkan satu negara yang bermasalah dengan negara lain mengenai hak
paten obat-obatan, Negara tersebut adalah Amerika Serikat.
Pertama, Kantor Paten Amerika Serikat telah memberikan paten pada sebuah
perusahaan farmasi Amerika Serikat atas obat yang dibuat dari terong dan pare.
Padahal tanaman tersebut berasal dari Negara India. Sudah ribuan tahun dua
tanaman tersebut digunakan untuk menyembuhkan diabetes di India dan sudah
terdokumentasi dalam banyak teks tentang tanaman obat di India.
Hal ini menunjukan bahwa Negara Amerika Serikat telah mengambil hak paten dua
tamanan tersebut dari Negara India. Seharusnya hal ini tidak dilakukan oleh
Amerika Serikat karena sudah jelas bahwa tanaman tersebut berasal dari Negara
Lain bukan dari Negaranya. Untuk menyelesaikan kasus tersebut, Negara India
harus dengan cepat mempatenkan dua tanaman tersebut agar Amerika Serikat tidak
berbuat seperti itu dan memberikan hukuman pada Amerika Serikat yang telah
berusaha mengambil hak paten dari dua tanaman itu.
Kedua, Amerika Serikat kembali memberikan paten kepada dua ilmuwan Swiss untuk
penemuan berupa zat aktif dari akar sebuah pohon (Swartzia madagascariensis) di
Afrika. Zat aktif ini digunakan untuk mengobati infeksi jamur serta gatal-gatal
pada kulit.
Masih dengan negara yang sama yaitu Amerika Serikat yang mengambil hak paten
zat aktif dari sebuah pohon di Afrika. Seharusnya hak paten atas zat aktif
tersebut adalah milik Negara Afrika karena pohon tersebut ada di wilayah
Afrika. Tidak ada hak untuk Amerika Serikat maupun Inggris yang bisa mengakui
bahwa zat aktif tersebut milik mereka walaupun mungkin dalam kenyataannya
Amerika Serikat dan Inggris melalukan penelitian untuk zat aktif itu. Tetapi
tetap, hak paten untuk zat aktif itu adalah milik Afrika dan Negara Afrika
berhak memberi hukuman atas apa yang dilakukan oleh Negara Amerika dan Inggris
yang telah mengakui hak paten atas zat aktif tersebut.
Terakhir, Sebuah perusahaan Amerika Serikat telah mempatenkan dua gen manusia
untuk skrining kanker payudara. Padahal sebagian besar penelitian dilakukan di
Institut Penelitian Kanker Inggris. Myriad mengajukan paten beberapa jam
sebelum Institut kanker mengumumkan penemuannya dalam majalah Nature.
Kasus ini hanya karena kecepatan pengakuan hak paten dari Institut Penelitian
Kanker Inggris yang telah didahului oleh Myrian Genetics, sebuah perusahaan
Amerika Serikat dalam hitungan jam. Padahal penelitian ini, sebagia besar
dilakukan di Inggris namun lagi-lagi Amerika Serikat mengakui yang bukan hak
nya. Hal ini juga mengancam 15 pekerjaan laboratorium di Inggris yang dibiayai
oleh masyarakat Inggris.
Pesan penting untuk Negara Amerika Serikat, jangan berkehendak sendiri dalam
melakukan apapun walaupun kita semua mengetahui bahwa Amerika Serikat adalah
negara yang kaya dalam pendanaan tetapi bukan seperti itu caranya, mengakui
yang bukan haknya. Berlaku adil dan bersikap profesional itu yang seharusnya
ditunjukan oleh negara super power seperti Amerika Serikat.
Studi Kasus
Hak Cipta
Di Indonesia seseorang dengan mudah dapat memfoto kopi sebuah buku, padahal
dalam buku tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh pengarang atau orang
yang ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila kegiatan foto kopi dilakukan dan
tanpa memperoleh izin dari pemegang hak cipta maka dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hak cipta. Lain lagi dengan kegiatan penyewaan buku di taman
bacaan, masyarakat dan pengelola taman bacaan tidak sadar bahwa kegiatan
penyewaan buku semacam ini merupakan bentuk pelanggaran hak cipta. Apalagi saat
ini bisnis taman bacaan saat ini tumbuh subur dibeberapa kota di Indonesia,
termasuk Yogyakarta. Di Yogyakarta dapat dengan mudah ditemukan taman bacaan
yang menyediakan berbagai terbitan untuk disewakan kepada masyarakat yang
membutuhkan. Kedua contoh tersebut merupakan contoh kecil dari praktek
pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat
tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah bentuk dari
pelanggaran hak cipta.
Padahal jika praktek seperti ini diteruskan maka akan membunuh kreatifitas
pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena hasil karyanya selalu
dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun materil.
Pengarang atau penulis mungkin akan memilih profesi lain yang lebih
menghasilkan. Selain itu kurang tegasnya penegakan hak cipta dapat memotivasi
kegiatan plagiasi di Tanah Air. Kita tentu pernah mendengar gelar kesarjanaan
seseorang dicopot karena meniru tugas akhir karya orang lain.
Mendarah dagingnya kegiatan pelanggaran hak cipta di Indonesia menyebabkan
berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah terkadang tidak sadar telah
melakukan kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal, seharusnya berbagai lembaga
pemerintah tersebut memberikan teladan dalam hal penghormatan terhadap hak
cipta. Contoh konkritnya adalah perpustakaan, lembaga ini sebenarnya rentan
akan pelanggaran hak cipta apabila tidak paham mengenai konsep hak cipta itu
sendiri. Plagiasi, Digitalisasi koleksi dan layanan foto kopi merupakan
topik-topik yang bersinggungan di hak cipta. Akan tetapi selain rentan dengan
pelanggaran hak cipta justru lembaga ini dapat dijadikan sebagai media
sosialisasi hak cipta sehingga dapat menimalkan tingkat pelanggaran hak cipta
di Tanah Air.
Perpustakaan menghimpun dan melayankan berbagai bentuk karya yang dilindungi
hak ciptanya. Buku, jurnal, majalah, ceramah, pidato, peta, foto, tugas akhir,
gambar adalah sebagai format koleksi perpustakaan yang didalamnya melekat hak
cipta. Dengan demikian maka perpustakaan sebenarnya sangat erat hubungannya
dengan hak cipta. Bagaimana, tidak di dalam berbagai koleksi yang dimiliki
perpustakaan melekat hak cipta yang perlu dihormati dan dijaga oleh
perpustakaan. Jika tidak berhati-hati atau memiliki rambu-rambu yang jelas
dalam pelayanan perpustakaan justru perpustakaan dapat menyuburkan praktek
pelanggaran hak cipta.
Untuk itu dalam melayankan berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan, maka
perpustakaan perlu berhati-hati agar layanan yang diberikannya kepada
masyarakat bukan merupakan salah satu bentuk praktek pelanggaran hak cipta. Dan
idealnya perpustakaan dapat dijadikan sebagai teladan dalam penegakan hak cipta
dan sosialisasi tentang hak cipta.
Layanan foto kopi, digitalisasi koleksi serta maraknya plagiasi karya tulis
merupakan isu serta layanan perpustakaan yang terkait dengan hak cipta.
Perpustakaan perlu memberikan pembatasan yang jelas mengenai layanan foto kopi
sehingga layanan ini tidak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak cipta.
Dalam kegiatan digitalisasi koleksi, perpustakaan juga perlu berhati-hati agar
kegiatan yang dilakukan tidak melanggar hak cipta pengarang. Selain itu
perpustakaan juga perlu menangani plagiasi karya tulis dengan berbagai strategi
jitu dan bukan dengan cara proteksi koleksi tersebut sehingga tidak dapat
diakses oleh pengguna perpustakaan.
Tanggapan Saya
Menanggapi kasus pelanggaran hak cipta diatas, terlihat bahwa kurangnya
kesadaran seseorang dalam menghargai hasil karya orang lain dan kurangnya
kesadaran hukum dikalangan masyarakat kita, memungkinkan orang tersebut
melakukan pelanggaran dengan cara membajak atau mengcopy sepenuhnya tanpa
memperoleh izin dari pemegang hak cipta. Akibat dari pelanggaran hak cipta
tersebut adalah merusak kreativitas seseorang yang menciptakan. Pencipta merasa
dirugikan baik secara moril maupun materiil karena hasil karyanya selalu dibajak.
Hal ini disebabkan karena ketidaktegasan penegakan hukum hak cipta di
Indonesia. Pemerintah harus dapat memberikan sanksi tegas seperti yang tertulis
dalam pasal 72 tentang Undang-Undang Hak Cipta yaitu bagi mereka yang dengan
sengaja atau tanpa hak melanggar hak cipta orang lain dapat dikenakan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Menurut saya, solusi yang perlu diterapkan yaitu perlunya ditanamkan kesadaran
kepada masyarakat agar tidak dengan mudahnya membajak hasil karya orang lain
atau pencipta. Kesadaran tersebut tentu tidak akan tumbuh apabila tidak
dibarengin dengan sanksi yang tegas dan berat agar menimbulkan efek jera bagi
masyarakat yang melanggarnya.
Pembahasan Kasus Hak Paten
Sejarah berulang
Kasus ini seperti ulangan dari keputusan Yahoo untuk menggugat Google menyusul
penawaran saham perdana perusahaan tu pada 2004 lalu. Sengketa masalah hak
paten itu dimenangkan Yahoo yang memperoleh sejumlah pembayaran. Disebutkan
Google melakukan penyelesaian kasus itu dengan menerbitkan 2,7 juta saham untuk
saingannya. "Ini masuk akal bahwa Yahoo ingin mencoba taktik yang berhasil
digunakan dimasa lalu," kata analis teknologi di New York BGC Partner
Colin Gillis kepada BBC. "Tetapi ada keputusasaan disana - tampaknya bahwa
mereka akan mendapatkan uang dengan mudah dari Facebook. Ini tidak akan menganggu
IPO."
Baru-baru ini Yahoo mengubah susunan pimpinannya, dan menunjuk Scott Thompson
sebagai kepala eksekutif pada Januari lalu. Pendiri Yahoo, Jerry Yang,
mengundurkan diri dari jajaran pimpinan pada Januari. Kepala perusahaan dan
tiga direksi mengumumkan pengunduran diri mereka setelah itu. The Wall Street
Journal melaporkan bahwa banyak karyawan Yahoo diperkirakan akan menghadapi
pemecatan menyusul penurunan keuntungan. Keputusan Thompson untuk menggugat
kemungkinan akan mendatangkan dana segar atau aset lain jika pengadilan
mengabulkan gugatan itu. "Ini menarik karena pertama kalinya hak paten
dipermasalahkan media sosial," kata Andrea Matwyshyn, asisten profesor
studi hukum Wharton School, University of Pennsylvania.
Referensi :